Daya-daya Ruhaniyah
Abu
al-Husayn an-Nuri mengatakan, “Tasawuf bukan sekumpulan ritual dan pengetahuan,
tetapi akhlak.” Maksudnya jika tasawuf terdiri dari ritual-ritual, maka berarti
bisa didapatkan melalui usaha; begitu pula jika terdiri dari pengetahuan, maka
bisa ditemukan melalui pengajaran; karena itu tasawuf adalah akhlak, dan
tasawuf tidak bisa diperoleh hingga kita menuntut diri mengamalkan
prinsip-prinsip akhlak, dan menjadikan amalan tersebut sejalan dengannya, dan memenuhi segala yang dituntunkannya.
Murta’isy
berkata: “ Tasawuf adalah akhlak yang baik.”. Akhlak yang baik memiliki tiga
bentuk: Pertama, akhlak kepada Allah
, dengan melaksanakan segala perintah-Nya. Kedua,
akhlak kepada manusia, dengan memberikan rasa hormat kepada yang lebih
tinggi dan berlaku baik kepada yang lebih rendah dan berlaku adil kepada orang
yang sederajat, dan tidak memungut imbalan dan menuntut keadilan dari kaum
jelata. Ketiga, akhlak kepada diri
sendiri, dengan tidak menuruti keinginan-keinginan badaniah dan iblis.
Zu
an-Nun al-Misri berkata: “Sufi adalah orang yang ketika berbicara bahasanya
adalah realitas ihwalnya, yakni dia tidak mengatakan apa yang tidak sebenarnya,
dan ketika dia diam perbuatannyan menjelaskan ihwalnya, dan ihwalnya mengatakan
bahwa dia telah memutuskan semua ikatan-ikatan duniawi.” Maksudnya semua yang
dia katakan berdasarkan prinsip yang masuk akal dan semua yang dia lakukan
terbebas dari dunia (tajrid).[1]
Manusia
adalah makhluk dwi dimensi. Ia tercipta dari tanah dan ruh Ilahi. Dalam
komposisi kejadiannya, manusia dapat diibaratkan dengan air yang terdiri dari kadar-kadar
tertentu dari hidrogen dan oksigen (Quraish Shihab, 2008:149)
Nyawa
atau daya hidup pada diri manusia telah ada sejak adanya sel sperma dan ovum.
Sperma dan ovum itu hidup dan kehidupannya mampu menjalin hubungan sehingga
terjadilah benih manusia (embrio). Dengan begitu, maka al-hayat berbeda dengan
al-ruh, sebab al-hayat ada sejak adanya sel-sel kelamin, sedangkan al-ruh ada
setelah embrio berusia empat bulan dalam kandungan (lihat HR. Bukhari dan Ahmad
bin Hambal). Oleh karen itu, kematian al-hayat tidak otomatis kematian al-ruh,
sebab al-ruh selalu hidup sebelum dan sesudah adanya nyawa manusia. Ruh
bersifat substansi (jauhar), sedang nyawa merupakan sesuatu yang baru datang
(aradh)[2]
Secara
psikis, makna ruh, jiwa dan akal sama dengan makna qalbu. Ketiganya merupakan
substansi manusia yang dapat mengidrak. Namun pada praktiknya, masing-masing
memiliki tendensi. Qalbu bertendensi inkonsisten dan bolak-balik dua alam. Ruh
bertendensi baik dan bersifat ilahiyyah. Jiwa bergantung pada kekuatan yang
mendominasinya. Akal berfungsi sebagai pemberi inspirasi. Sedangkan naffs yang
berarti nafsi merupakan kolaborasi kekuatan ghadab (marah) dan syahwat
(keinginan biologis dan hasrat seksual) yang cenderung pada kejelekan.
Al-Nafs
Istilah
nafs yang dimaksud disini adalah
istilah bahasa Arab yang dipakai dalam Al-Qur’an. Secara bahasa dalam kamus
al-Munjid, nafs (jama’nya nufus dan anfus) berarti ruh (roh) dan ‘ain (diri
sendiri).[3] Sedangkan dalam kamus
al-Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya
anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al-
sahsh (orang), al-sahsh alinsan
(diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri). Sedangkan
menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an disebutkan bahwa dalam
al-Qur’an nafs yang jama’nya anfus dan nufus diartika jiwa (soul), pribadi
(person), diri (self atau selves), hidup
(life), hati (heart), atau pikiran (mind)
di samping juga dipakai untuk beberapa arti lainnya.
Para
ahli tasawuf membagi perkembangan jiwa menjadi tiga tingkatan :
·
Tingkat pertama manusia cenderung untuk
hanya memenuhi naluri rendahnya yang disebut dengan jiwa
hayawaniyah/kebinatangan (nafs ammarah) berdasar pada surat Yusuf (12) ayat 53.
“ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
·
Tingkat kedua, manusia sudah mulai untuk
menyadari kesalahan dan dosanya, ketika telah berkenalan dengan petunjuk Ilahi,
di sini telah terjadi apa yang disebutnya kebangkitan rohani dalam diri
manusia. Pada waktu itu manusia telah memasuki jiwa kemanusiaan, disebut dengan
jiwa kemanusiaan (nafs lawwamah)
berdasar pada surat al-Qiyamah (75) ayat 2. “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang
amat menyesali (dirinya sendiri).”
·
Tingkatan ketiga adalah jiwa ketuhanan
yang telah masuk dalam kepribadian manusia, disebut jiwa ketuhanan (nafs muthmainnah) berdasar pada surat
al-Fajr (89) ayat 27-30. Tingkatan jiwa ini hampir sama dengan konsep
psikoanalisanya Freud yaitu Id, Ego, dan Superego.”Hai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka
masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku. Masuklah ke dalam surgaku.”
Kecenderungan
nafs adalah memaksakan
hasrat-hasratnya dalam upaya untuk memuaskan diri. Sedangkan akal berperan
sebagai kekuatan pembatas sekaligus penasihat bagi nafs, memberikan pertimbangan kepada nafs tentang tindakan-tindakan positif yang seharusnya dilakukan
Quraish
Shihab cenderung memahami nafs
sebagai sesuatu yang merupakan hasil perpaduan jasmani dan ruhani manusia.
Perpaduan yang kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi,
dan pengetahuan serta dikenal dan dibedakan dengan manusia-manusia lainnya.
Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)
Sebagaimana Ibn Sina, al-Ghazali
membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Jiwa
nabati (al-nafs al-nabatiyah),
yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum,
tumbuh dan berkembang.
2. Jiwa
hewani (al-nafs
al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari
segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).
3. Jiwa
insani (al-nafs al-insaniyah),
yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan
dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang
bersifat umum.11
Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali
di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia).
Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah
masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql), yaitu daya praktik
yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang
abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs
al mutmainnah merupakan
nama-nama lain dari al-nafs
al-natiqah yang bersifat
hidup, aktif dan bisa mengetahui.12
Al-Aql
Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah ruh
dan al-nafs, ditemukan
juga istilah al-qalb dan al-'aql.
Empat istilah ini tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat ibarat kacang
dengan kulit arinya.
Secara
leksikal (bahasa), kata al-aql di dalam kamus kontemporer Arab-Indonesia
merupakan sinonim bagi kata hija yang
berarti pikiran, otak dan alasan. Sedangkan di dalam kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia juga berarti daya yang dapat
menangkap, mempersepsi, memahami.
Menurut
Imam Al-Ghazali, kata al-aql memiliki empat hakikat, yaitu :
·
Pertama, sesuatu yang siap menerima
pengetahuan teoretis dan mengatur kepandaian berpikir yang tersembunyi.
·
Kedua, pengetahuan yang ada pada diri
manusia sejak usia anak.
·
Ketiga, pengetahuan yang diperoleh dari
pengalaman/empirik.
·
Keempat, kekuatan gharizah (insting) untuk mengetahui konsekuensi berbagai masalah
dan menahan keinginan untuk mendapatkan kelezatan sesaat.
Al-aql
juga bisa dipahami dalam dua makna yaitu pertama, otak yang berada di dalam
kepala bagian belakang dan yang kedua adalah potensi lathifah robbaniyyah yang mempunyai potensi akademik, mengetahui
hakekat segala sesuatu.
Sedangkan
manfaat/fungsi al-aql adalah potensi penyerapan pengetahuan, membedakan baik
dan buruk, dan jalan memperoleh sejati
Al-Qalb
“Hati adalah rumah Allah,
maka bersihkanlah ia dari yang selain Dia agar saban malam sang Rahman dapat
bersemayam di istana-Nya.”
-Ibrahim Haqqi
Menurut Yaniyullah (2005:iv) bagi
manusia, baik arti secara fisik maupun psikis, qalbu merupakan lokus yang
sangat penting. Ia berfungsi sebagai “processor”. Seluruh anggota badan lahir
dan batin berfungsi sebagai perangkat. Seluruhnya tunduk pada kehendaknya. Baik
dan buruk perilaku manusia tergantung pada getaran-getaran
(khawatir)-nya. Qalbu merupakan pusat penilaian Allah dan kekuatan
rohaniah yang mampu melakukan pengidraan. Dalam tubuh manusia, kekuatan yang
bersifat ruhaniah memang bukan hanya qalbu, tetapi juga ruh, akal, dan naffs
(yang bisa berarti jiwa atau nafsu).
Sebagai “processor” dalam tubuh
manusia, qalbu memiliki daya yang sangat dahsyat, melebihi daya anggota badan
lainnya. Seluruh fungsi anggota lahir, pada hakikat merupakan daya qalbu. Lebih
dari itu, qalbu memiliki pasukan batin, yaitu fu’ad, lubb, shadr, bal, dzhin
dan saghaf. Fu’ad adalah daya teringgi yang dapat melihat cahaya-cahaya gaib
yang dapat melahirkan makrifat. Ia merupakan nikmat spesial bagi manusia.
Dengannya manusia bisa mengidrak sesuatu yang abstrak, yang konkret, yang
terlewat, dan yang tertutup mengenai informasi sesuatu, dampak-dampaknya, dan
sifat-sifatnya. Lubb ialah daya yang dapat berpikir murni dan sangat cerdas
yang dapat melahirkan tauhid. Shadr ialah daya penerbit cahaya kepasrahan. Bal ialah daya penyangga. Dzihn ialah daya pengingat. Syaghaf ialah daya yang dapat mencintai.
Qalbu juga memiliki kekuatan
berimajinasi, mengetahui, menghafal, berfikir, dan berperasa berpatisan.
Hati adalah sebuah entitas nurani yang
menakjubkan dan memiliki dua sisi berbeda; yang pertama selalu memandang ke
arah Alam arwah, sementara yang kedua selalu memandang alam fisik. Jika tubuh
tunduk pada perintah ruh yang tercakup dalam perintah-perintah syariat tauhid,
maka hati mengalirkan limpahan anugerah yang ia dapat dari alam arwah kepada
tubuh dan jasad, sehingga memberikan embusan angin ketenangan dan ketentraman.[4]
Hati juga mampu melakukan peng-idrak-an.
Idrak adalah memahami dan
mempersepsikan. Misalnya perasaan sedih dan gembira. Yang berfikir dan
merenungkan itu adalah kekuatan batin yang disebut al-qalb.
Hati adalah objek pandangan Allah SWT,
sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama masa lalu. Maksudnya adalah bahwa
Allah SWT selalu memandang hati manusia dan Dia melakukan interaksi dengan
seseorang sesuai dengan kondisi hati orang tersebut. Demikianlah yang
dinyatakan dalam hadist, “... akan tetapi
Dia melihat ke hati kalian.”
Hati merupakan sebuah lathifah (entitas lembut) yang sangat
sulit disembuhkan jika terluka, meski yang jauh lebih sulit adalah
menghidupkannya jika ia sudah mati. Itulah sebabnya Al-Qur’an berpesan kepada
kita dengan sebuah doa ‘wahai tuhan kami,
janganlah engkau jadikan hati kami condong pada kesesatan sesudah engkau beri
petunjuk kepada kami,’ (QS Ali Imran 3: 8). Hati melakukan tugas sebagai
jembatan penting untuk mengantarkan semua kebaikan dan berkah kepada manusia,
sebagaimana ia juga dapat menjadi penghubung berbahaya yang membuka jalan bagi
masuknya berbagai bentuk godaan syaitan dan bisikan nafsu. Setiap kali hati
dapat diarahkan menuju al-Haqq Allah SWT, maka ia menjadi lentera terang yang
menerangi seluruh bagian tubuh sampai ke pelosok sudut-sudutnya. Tetapi ketika
hati diarahkan menuju materialisme, maka ia akan menjadi sasaran empuk bagi
anak panah syaitan yang beracun.
Al-Ruh
Kata ruh diartikan dengan roh, nyawa,
jiwa, sukma, intisari, perasaan atau esensi. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, kata ruh diartikan dengan: Sesuatu yang hidup yang tidak berbadan
jasmani, namun berakal budi dan berperasaan; jiwa atau badan halus atau
semangat.
Menurut Al-Ghazali, kata ruh memiliki
dua makna, yaitu :
·
Pertama,
jenis yang halus (al-lathifah) memancar
dari rongga yang ada pada al-qab al-jasmani (jantung), menyebar ke seluruh
bagian tubuh melalui urat nadi yang memancarkan cahaya hidup, rasa,
penghlihatan, pendengaran, dan penciuman pada berbagai bagian tubuh menyerupai
cahaya lampu yang dapat menerangi sekeliling rumah. Kehidupan bisa diibiratkan
dengan cahaya yang menerangi dinding rumah, sedangkan ruh adalah lampunya.
·
Kedua, nur
lathifah (cahaya halus) pada diri manusia yang dengannya ia dapat
mengetahui dan mengidrak sebagaimana fungsi kalbu dan ruh inilah merupakan
hakikat hati.
Hati manusia merupakan wilayah yang
terletak antara kesatuan dan keanekaragaman. Jika wilayah itu dikuasai oleh nafs dan bala tentara hawa nafs-nya, yang membentuk pasukan
keanekaragaman, maka hati akan mengalami kehancuran dan tertawan. Jika tentara
kasih sayang, yang merupakan kekuatan ruh
kesatuan, mengusir pasukan nafs dari hati, maka hati berada dalam pengaruh
ruh, yang akan menjadi atasannya. Pada maqam ini, jiwa sufi bergabung dengan
alam kesatuan dan terpisah dari dunia keanekaragamn.
Ruh
inilah yang merupakan hal mengagumkan yang bersifat rabbani yang tidak mampu diketahui hakikatnya oleh kebanyakan akal
manusia. Ini berdasarkan firman Allah QS. Al-Isra : 8) yaitu : “Dan mereka
bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Al-Sirr
As Sirr dimaknai sebagai sebagai
rahasia (lawan keterusterangan), pembicaraan dalam hati. Hans Wehr mengungkapkan
kemungkinan makna sirr adalah: secret, mind, heart, dan soul. Rahasia adalah
sebuah hakekat yang tersembunyi, ia tersembunyi dari cercapan panca indera,
namun ada dalam eksistensi. Sirr dengan demikian adalah sesuatu yang
tersembunyi dalam diri manusia, seperti pikiran, perasaan dan jiwa. Sirr
merupakan aspek jiwa yang paling dalam, ia adalah pikiran, perasaan bawah sadar
yang dimiliki manusia.
Sirr juga merupakan isyarat halus yang
ada dalam diri manusia seperti ruh dan nafs. Pada prinsipnya, ia merupakan
tempat “musyahadah” seperti halnya ruh tampat “mahabbah” dan qalb tempat “ma’rifah”.
Ia merupakan substansi halus dan
lembut dari rahmat Allah, relung kesadaran paling dalam, tempat komunikasi
rahasia Tuhan dan hambaNya. Inilah tempat paling tersembunyi, dimana Allah
memanifestasikan rahasiaNya kepada diriNya sendiri.
Sirr adalah ketersembunyian antara
yang tiada dan ada. Ia adalah apa yang diketahui Tuhan tetapi tidak diketahui
mahkluk. Sirr mahkluk adalah apa yang diketahui Tuhan tanpa perantara. Sirr
lebih halus dari ruh, dan ruh lebih halus dari qalb.
Menurut para imam sufi as sirr hanya
dimiliki oleh para wali dan orang-orang yang telah mencapai ma’rifah Allah.
Dalam qalb mereka telah terdapat rahasia-rahasia ketuhanan dan hakekat rabbani
yang harus dirahasiakan dari orang-orang awam, agar mereka tidak salah paham.
[1] Ali Ibn
Usman Al-Jullabi Al-Hujwiri, Keajaiban Sufi, (Jakarta: DIADIT MEDIA, 2008),
hal. 31, cet-I
[2] Abdul
Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter perspektif Islam, (Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA, 2011), hal. 76, cet-I
[3] Lewis
Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Musyriq 1986), 826.
[4] Muhammad
Fethullah Gulen, Tasawuf untuk kita semua, (Jakarta: Republika, 2014), hal. 65,
cet-I