Jumat, 02 Juni 2017

Daya-daya Ruhani

Daya-daya Ruhaniyah
Abu al-Husayn an-Nuri mengatakan, “Tasawuf bukan sekumpulan ritual dan pengetahuan, tetapi akhlak.” Maksudnya jika tasawuf terdiri dari ritual-ritual, maka berarti bisa didapatkan melalui usaha; begitu pula jika terdiri dari pengetahuan, maka bisa ditemukan melalui pengajaran; karena itu tasawuf adalah akhlak, dan tasawuf tidak bisa diperoleh hingga kita menuntut diri mengamalkan prinsip-prinsip akhlak, dan menjadikan amalan tersebut sejalan dengannya, dan  memenuhi segala yang dituntunkannya.
Murta’isy berkata: “ Tasawuf adalah akhlak yang baik.”. Akhlak yang baik memiliki tiga bentuk: Pertama, akhlak kepada Allah , dengan melaksanakan segala perintah-Nya. Kedua, akhlak kepada manusia, dengan memberikan rasa hormat kepada yang lebih tinggi dan berlaku baik kepada yang lebih rendah dan berlaku adil kepada orang yang sederajat, dan tidak memungut imbalan dan menuntut keadilan dari kaum jelata. Ketiga, akhlak kepada diri sendiri, dengan tidak menuruti keinginan-keinginan badaniah dan iblis.
Zu an-Nun al-Misri berkata: “Sufi adalah orang yang ketika berbicara bahasanya adalah realitas ihwalnya, yakni dia tidak mengatakan apa yang tidak sebenarnya, dan ketika dia diam perbuatannyan menjelaskan ihwalnya, dan ihwalnya mengatakan bahwa dia telah memutuskan semua ikatan-ikatan duniawi.” Maksudnya semua yang dia katakan berdasarkan prinsip yang masuk akal dan semua yang dia lakukan terbebas dari dunia (tajrid).[1]
Manusia adalah makhluk dwi dimensi. Ia tercipta dari tanah dan ruh Ilahi. Dalam komposisi kejadiannya, manusia dapat diibaratkan  dengan air yang terdiri dari kadar-kadar tertentu dari hidrogen dan oksigen (Quraish Shihab, 2008:149)
Nyawa atau daya hidup pada diri manusia telah ada sejak adanya sel sperma dan ovum. Sperma dan ovum itu hidup dan kehidupannya mampu menjalin hubungan sehingga terjadilah benih manusia (embrio). Dengan begitu, maka al-hayat berbeda dengan al-ruh, sebab al-hayat ada sejak adanya sel-sel kelamin, sedangkan al-ruh ada setelah embrio berusia empat bulan dalam kandungan (lihat HR. Bukhari dan Ahmad bin Hambal). Oleh karen itu, kematian al-hayat tidak otomatis kematian al-ruh, sebab al-ruh selalu hidup sebelum dan sesudah adanya nyawa manusia. Ruh bersifat substansi (jauhar), sedang nyawa merupakan sesuatu yang baru datang (aradh)[2]
Secara psikis, makna ruh, jiwa dan akal sama dengan makna qalbu. Ketiganya merupakan substansi manusia yang dapat mengidrak. Namun pada praktiknya, masing-masing memiliki tendensi. Qalbu bertendensi inkonsisten dan bolak-balik dua alam. Ruh bertendensi baik dan bersifat ilahiyyah. Jiwa bergantung pada kekuatan yang mendominasinya. Akal berfungsi sebagai pemberi inspirasi. Sedangkan naffs yang berarti nafsi merupakan kolaborasi kekuatan ghadab (marah) dan syahwat (keinginan biologis dan hasrat seksual) yang cenderung pada kejelekan.
Al-Nafs
Istilah nafs yang dimaksud disini adalah istilah bahasa Arab yang dipakai dalam Al-Qur’an. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jama’nya nufus dan anfus) berarti ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri).[3] Sedangkan dalam kamus al-Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al- sahsh (orang), al-sahsh alinsan (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri). Sedangkan menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an disebutkan bahwa dalam al-Qur’an nafs yang jama’nya anfus dan nufus diartika jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind) di samping juga dipakai untuk beberapa arti lainnya.
Para ahli tasawuf membagi perkembangan jiwa menjadi tiga tingkatan :
·         Tingkat pertama manusia cenderung untuk hanya memenuhi naluri rendahnya yang disebut dengan jiwa hayawaniyah/kebinatangan (nafs ammarah) berdasar pada surat Yusuf (12) ayat 53. “ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
·         Tingkat kedua, manusia sudah mulai untuk menyadari kesalahan dan dosanya, ketika telah berkenalan dengan petunjuk Ilahi, di sini telah terjadi apa yang disebutnya kebangkitan rohani dalam diri manusia. Pada waktu itu manusia telah memasuki jiwa kemanusiaan, disebut dengan jiwa kemanusiaan (nafs lawwamah) berdasar pada surat al-Qiyamah (75) ayat 2. “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”
·         Tingkatan ketiga adalah jiwa ketuhanan yang telah masuk dalam kepribadian manusia, disebut jiwa ketuhanan (nafs muthmainnah) berdasar pada surat al-Fajr (89) ayat 27-30. Tingkatan jiwa ini hampir sama dengan konsep psikoanalisanya Freud yaitu Id, Ego, dan Superego.”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku. Masuklah ke dalam surgaku.”
Kecenderungan nafs adalah memaksakan hasrat-hasratnya dalam upaya untuk memuaskan diri. Sedangkan akal berperan sebagai kekuatan pembatas sekaligus penasihat bagi nafs, memberikan pertimbangan kepada nafs tentang tindakan-tindakan positif yang seharusnya dilakukan
Quraish Shihab cenderung memahami nafs sebagai sesuatu yang merupakan hasil perpaduan jasmani dan ruhani manusia. Perpaduan yang kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan pengetahuan serta dikenal dan dibedakan dengan manusia-manusia lainnya.
Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)

Sebagaimana Ibn Sina, al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu:
1.      Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
2.      Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).
3.      Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.11
Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.12
Al-Aql
Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah ruh dan al-nafs, ditemukan juga istilah al-qalb dan al-'aql. Empat istilah ini tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat ibarat kacang dengan kulit arinya.
Secara leksikal (bahasa), kata al-aql di dalam kamus kontemporer Arab-Indonesia merupakan sinonim bagi kata hija yang berarti pikiran, otak dan alasan. Sedangkan di dalam kamus Al-Munawwir  Arab-Indonesia juga berarti daya yang dapat menangkap, mempersepsi, memahami.
Menurut Imam Al-Ghazali, kata al-aql memiliki empat hakikat, yaitu :
·         Pertama, sesuatu yang siap menerima pengetahuan teoretis dan mengatur kepandaian berpikir yang tersembunyi.
·         Kedua, pengetahuan yang ada pada diri manusia sejak usia anak.
·         Ketiga, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman/empirik.
·         Keempat, kekuatan gharizah (insting) untuk mengetahui konsekuensi berbagai masalah dan menahan keinginan untuk mendapatkan kelezatan sesaat.
Al-aql juga bisa dipahami dalam dua makna yaitu pertama, otak yang berada di dalam kepala bagian belakang dan yang kedua adalah potensi lathifah robbaniyyah yang mempunyai potensi akademik, mengetahui hakekat segala sesuatu.
Sedangkan manfaat/fungsi al-aql adalah potensi penyerapan pengetahuan, membedakan baik dan buruk, dan jalan memperoleh sejati
Al-Qalb
“Hati adalah rumah Allah, maka bersihkanlah ia dari yang selain Dia agar saban malam sang Rahman dapat bersemayam di istana-Nya.”
-Ibrahim Haqqi
Menurut Yaniyullah (2005:iv) bagi manusia, baik arti secara fisik maupun psikis, qalbu merupakan lokus yang sangat penting. Ia berfungsi sebagai “processor”. Seluruh anggota badan lahir dan batin berfungsi sebagai perangkat. Seluruhnya tunduk pada kehendaknya. Baik dan buruk perilaku manusia tergantung pada getaran-getaran (khawatir)-nya. Qalbu merupakan pusat penilaian Allah dan kekuatan rohaniah yang mampu melakukan pengidraan. Dalam tubuh manusia, kekuatan yang bersifat ruhaniah memang bukan hanya qalbu, tetapi juga ruh, akal, dan naffs (yang bisa berarti jiwa atau nafsu).
Sebagai “processor” dalam tubuh manusia, qalbu memiliki daya yang sangat dahsyat, melebihi daya anggota badan lainnya. Seluruh fungsi anggota lahir, pada hakikat merupakan daya qalbu. Lebih dari itu, qalbu memiliki pasukan batin, yaitu fu’ad, lubb, shadr, bal, dzhin dan saghaf. Fu’ad adalah daya teringgi yang dapat melihat cahaya-cahaya gaib yang dapat melahirkan makrifat. Ia merupakan nikmat spesial bagi manusia. Dengannya manusia bisa mengidrak sesuatu yang abstrak, yang konkret, yang terlewat, dan yang tertutup mengenai informasi sesuatu, dampak-dampaknya, dan sifat-sifatnya. Lubb ialah daya yang dapat berpikir murni dan sangat cerdas yang dapat melahirkan tauhid. Shadr ialah daya penerbit cahaya kepasrahan. Bal ialah daya penyangga. Dzihn ialah daya pengingat. Syaghaf ialah daya yang dapat mencintai. Qalbu juga memiliki kekuatan berimajinasi, mengetahui, menghafal, berfikir, dan berperasa berpatisan.
Hati adalah sebuah entitas nurani yang menakjubkan dan memiliki dua sisi berbeda; yang pertama selalu memandang ke arah Alam arwah, sementara yang kedua selalu memandang alam fisik. Jika tubuh tunduk pada perintah ruh yang tercakup dalam perintah-perintah syariat tauhid, maka hati mengalirkan limpahan anugerah yang ia dapat dari alam arwah kepada tubuh dan jasad, sehingga memberikan embusan angin ketenangan dan ketentraman.[4] Hati juga mampu melakukan peng-idrak-an. Idrak adalah memahami dan mempersepsikan. Misalnya perasaan sedih dan gembira. Yang berfikir dan merenungkan itu adalah kekuatan batin yang disebut al-qalb.
Hati adalah objek pandangan Allah SWT, sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama masa lalu. Maksudnya adalah bahwa Allah SWT selalu memandang hati manusia dan Dia melakukan interaksi dengan seseorang sesuai dengan kondisi hati orang tersebut. Demikianlah yang dinyatakan dalam hadist, “... akan tetapi Dia melihat ke hati kalian.”
Hati merupakan sebuah lathifah (entitas lembut) yang sangat sulit disembuhkan jika terluka, meski yang jauh lebih sulit adalah menghidupkannya jika ia sudah mati. Itulah sebabnya Al-Qur’an berpesan kepada kita dengan sebuah doa ‘wahai tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami condong pada kesesatan sesudah engkau beri petunjuk kepada kami,’ (QS Ali Imran 3: 8). Hati melakukan tugas sebagai jembatan penting untuk mengantarkan semua kebaikan dan berkah kepada manusia, sebagaimana ia juga dapat menjadi penghubung berbahaya yang membuka jalan bagi masuknya berbagai bentuk godaan syaitan dan bisikan nafsu. Setiap kali hati dapat diarahkan menuju al-Haqq Allah SWT, maka ia menjadi lentera terang yang menerangi seluruh bagian tubuh sampai ke pelosok sudut-sudutnya. Tetapi ketika hati diarahkan menuju materialisme, maka ia akan menjadi sasaran empuk bagi anak panah syaitan yang beracun.
Al-Ruh
Kata ruh diartikan dengan roh, nyawa, jiwa, sukma, intisari, perasaan atau esensi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata ruh diartikan dengan: Sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani, namun berakal budi dan berperasaan; jiwa atau badan halus atau semangat.
Menurut Al-Ghazali, kata ruh memiliki dua makna, yaitu :
·         Pertama, jenis yang halus (al-lathifah) memancar dari rongga yang ada pada al-qab al-jasmani (jantung), menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui urat nadi yang memancarkan cahaya hidup, rasa, penghlihatan,  pendengaran,  dan penciuman pada berbagai bagian tubuh menyerupai cahaya lampu yang dapat menerangi sekeliling rumah. Kehidupan bisa diibiratkan dengan cahaya yang menerangi dinding rumah, sedangkan ruh adalah lampunya.
·         Kedua, nur lathifah (cahaya halus) pada diri manusia yang dengannya ia dapat mengetahui dan mengidrak sebagaimana fungsi kalbu dan ruh inilah merupakan hakikat hati.
Hati manusia merupakan wilayah yang terletak antara kesatuan dan keanekaragaman. Jika wilayah itu dikuasai oleh nafs dan bala tentara hawa nafs-nya, yang membentuk pasukan keanekaragaman, maka hati akan mengalami kehancuran dan tertawan. Jika tentara kasih sayang, yang merupakan kekuatan ruh kesatuan, mengusir pasukan nafs  dari hati, maka hati berada dalam pengaruh ruh, yang akan menjadi atasannya. Pada maqam ini, jiwa sufi bergabung dengan alam kesatuan dan terpisah dari dunia keanekaragamn.
Ruh inilah yang merupakan hal mengagumkan yang bersifat rabbani yang tidak mampu diketahui hakikatnya oleh kebanyakan akal manusia. Ini berdasarkan firman Allah QS. Al-Isra : 8) yaitu : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Al-Sirr
As Sirr dimaknai sebagai sebagai rahasia (lawan keterusterangan), pembicaraan dalam hati. Hans Wehr mengungkapkan kemungkinan makna sirr adalah: secret, mind, heart, dan soul. Rahasia adalah sebuah hakekat yang tersembunyi, ia tersembunyi dari cercapan panca indera, namun ada dalam eksistensi. Sirr dengan demikian adalah sesuatu yang tersembunyi dalam diri manusia, seperti pikiran, perasaan dan jiwa. Sirr merupakan aspek jiwa yang paling dalam, ia adalah pikiran, perasaan bawah sadar yang dimiliki manusia.
Sirr juga merupakan isyarat halus yang ada dalam diri manusia seperti ruh dan nafs. Pada prinsipnya, ia merupakan tempat “musyahadah” seperti halnya ruh tampat “mahabbah”  dan qalb tempat “ma’rifah”.
Ia merupakan substansi halus dan lembut dari rahmat Allah, relung kesadaran paling dalam, tempat komunikasi rahasia Tuhan dan hambaNya. Inilah tempat paling tersembunyi, dimana Allah memanifestasikan rahasiaNya kepada diriNya sendiri.
Sirr adalah ketersembunyian antara yang tiada dan ada. Ia adalah apa yang diketahui Tuhan tetapi tidak diketahui mahkluk. Sirr mahkluk adalah apa yang diketahui Tuhan tanpa perantara. Sirr lebih halus dari ruh, dan ruh lebih halus dari qalb.
Menurut para imam sufi as sirr hanya dimiliki oleh para wali dan orang-orang yang telah mencapai ma’rifah Allah. Dalam qalb mereka telah terdapat rahasia-rahasia ketuhanan dan hakekat rabbani yang harus dirahasiakan dari orang-orang awam, agar mereka tidak salah paham.



[1] Ali Ibn Usman Al-Jullabi Al-Hujwiri, Keajaiban Sufi, (Jakarta: DIADIT MEDIA, 2008), hal. 31, cet-I
[2] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter perspektif Islam, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011), hal. 76, cet-I
[3] Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Musyriq 1986), 826.
[4] Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf untuk kita semua, (Jakarta: Republika, 2014), hal. 65, cet-I

Senin, 30 Januari 2017

Kampung Inggris Pare

Assalamualaykum guys..
kali ini mau nyeritain pengalaman ke kediri,pare Kampung Inggris. tepatnya pas lagi ngikutin program english holiday selama satu bulan. Aku ikut program maroon is me bayarnya 2.5 juta, sekalian trip ke bali. tiap harinya ada program vocab, pronun, grammar sama speaking yang masing2 nya 1.5 jam. sabtu & minggu libur.
aku berangkat tgl 17 januari 2017 dan balik 17 februari.
Dari SMP emang pengen banget ke pare, yg awalnya cuman denger dari cerita orang dan baca2 di website. Dan tadaa, Alhamdulillah diberi kesempatan kesana di semester awal kuliah ini.
pada awalnya aku kira tempatnya kampung bangeettt.. dan iya sih masih kampung, tapi udah banyak kafe2 baguss braay. Jadi, untuk yang suka nongki2 banyak pilihan tempat buat kalian.
di kampung Inggris ada jalan yang paling rame, namanya jalan Anyelir. Di  sepanjang jalan banyak warung makanan dan toko2. mayoritas pada naik sepeda, kalian bisa sewa sepeda disini dengan harga mulai diatas 50 ribuan perbulannya. buat yang tinggal untuk satu bulan atau lebih aku saranin buat sewa sepeda, biar mudah kemana-mana..
pas pertama kali sewa sepeda seru banget euy hahaha... jarang banget jalan2 naik sepeda apalagi banyak orang yang gunain sepeda juga.
next ke makanan, ga perlu khawatir deh susah cari makanan, karena emang di pinggir jalan tuh banyak bangeet dan harganya lumayan murah.. ada yg prasmanan juga.
contohnya kaya mie ayam 5000, nasi ayam bakar 7/8000. dan nasi pecel pake tempe+ kerupuk 3500..
jus buahnya, alpukat 7000an
yah pokoknya 5000an juga banyak jusnya.
di sepanjang jalan juga banyak tempat kursusan. ada Mr. Bob, kunci inggris, Al Azhar( disini juga banyak kursusan bahasa Arab), smart, elfast, harvard, BEC (paling rame, soalnya pendiri pertama), EEC (cabang BEC),etc. nah, ga heran kalau temen2  nnti dengerin banyak orang dijalan ngobrol make bahasa inggris. disini emang tempatnya buat latihan jadi ga usah takut buat salah, yang penting mau usaha dan berani :)
buat harga juga beragam. sesuai program yang teman2 ambil, ada yang 250/bulan. Ambil speaking aja 50/bulan. bermacam-macam deh,
nanti disini teman2 bisa sewa camp untuk tempat tinggal, banyak rumah warga yang di kostin buat tempat tinggal. ada yang 150/bulan dan lebih dari 150 ribu juga ada.
okey, sekian dulu cerita ku. Semoga bermanfaat.
:)
wassalamualaykum wr.wb

Selasa, 22 November 2016

Puisi cinta





Pergilah ke pangkuan Tuhan,
dan Tuhan akan memelukmu dan menciummu, 
dan menunjukkan bahwa Ia tidak akan membiarkanmu lari dari-Nya
Ia akan menyimpan hatimu, dalam hati-Nya,
Siang dan Malam

By : Jalaludin Rummi

Senin, 21 November 2016

Visi dan Misi Ajaran Islam

BAB 1
A.   Latar Belakang
Innama bu’istu li utammima makarimal akhlaqi!
“Aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti mulia.”
            Demikianlah sabda junjungan kita Pesuruh Tuhan, Muhammad Saw, menyatakan maksud kedatangannya ke alam dunia ini. Ingatlah bagaimana persiapan beliau dari waktu muda, sampai berusia 40 tahun untuk menghadapi soal kemanusiaan yang berat ini. Dalam usia yang sangat muda, karena perjuangan untuk memperteguh diri, beliau telah diberi gelar kehormatan oleh kaumnya dengan “al-Amin”, yaitu orang yang sangat dipercaya. Dan setelah genap usia 40 tahun, diterimanyalah titah suci dari Yang Maha Esa untuk melanjutkan dan menyempurnakan pekerjaan Pesuruh Tuhan yang lebih dulu. Dan semua itu dilakukan dengan memiliki visi dan misi yang jelas serta tujuan ajaran untuk seluruh umat manusia di muka bumi, maka Muhammad siap untuk melaksanakan amanat yang telah Allah SWT berikan padanya. Kerusakan dan kekacauan jiwa, adalah sebab karena manusia yang tidak mempunyai tujuan hidup, tidak mempunyai cita-cita. Tiga belas tahun lamanya junjungan kita di Mekkah menjelaskan tujuan hidup dan menegakkan sesuatu yang dapat membentuk budi, yaitu tujuan keesaan kepada Zat yang meliputi dan menguasai seluruh alam benda yang maujud ini. Itulah yang terkenal dengan kalimat pokok ajaran Islam, yaitu Tauhid.
            Maka budi Al-Qur’an itulah yang telah menimbulkan suatu umat yang besar, yang telah berkumandang suaranya di bawah kolong langit ini, ke Timur, Barat, Utara, selatan, menegakkan suatu negara dan suatu peradaban yang diakui sebagai suatu rantai emas yang gemilang di dalam tarikh (sejarah) peri kemanusiaan. Sehingga genaplah isi Wahyu Tuhan, “Bahwasanya bumi ini Kami wariskan kepada hamba Kami yang sudi melakukan amal mulia.”
Peradaban dunia yang terus berganti, terbentang sejarah bangsa-bangsa yang telah hilang dan menyisakan reruntuhan bangunan yang dulunya megah, baik di Barat maupun di Timur, sejak dari bangsa Yunani, Romawi dan Persia, sampai kepada kaum muslimin yang telah mencapai puncak mercu kemuliaan. Bagaimana mereka menderita kerobohan, keruntuhan, dan kehancuran? Bukankah setelah budi mereka merosot jatuh? Inilah hukum Allah, Sunatullah yang tidak dapat diubah.
Datangnya zaman baru di Benua Eropa, sejak dari kebangkitan Luther dan Calvin, sampai kepada terciptanya Revolusi Perancis, demikian juga Revolusi Amerika membuat Eropa mendapat jiwa baru. Tekniknya yang modern organisasi yang teratur, semuanya adalah dampak kebangkitan budi bangsa-bangsa. Tapi organisasi yang teratur dan teknik yang modern yang telah menyebabkan Barat jadi sombong akan hasil otaknya, hingga niatnya jadi lain pula. Menindas bangsa yang lemah. Dari kagum melihat kemajuan bangsa Barat, telah ikut suatu tanda Tanya,”Peradaban apakah yang ditegakkan? Mengapa baru separuh jalan di abad yang kedua puluh , telah dua kali perang dunia dan masih mengancam perang dunia ketiga.”
Di antara umat muslim itu termasuklah bangsa Indonesia, dia tengah berjuang untuk mengisi kemerdekaanya dari kemerdekaan itu dia akan turut membina dunia baru yang tegak di atas budi besar, dari generasi ke generasi terus melakukan pembaharuan dalam bidang IPTEK maupun IMTAK yang sasaran serta harapan besar ditumpukan kepada para pemuda.. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw memerintahkan dahulu bahwa dia telah mengambil Tauhid tadi, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar budi dan dia akan terus tegak, selama budi ini masih padanya. Sebagaimana kata Syauqi Bey :
Wa innamal umamul akhlaqu maa baqiat
Wa in hummu dzahabat akhlaquhum dzahabuu
TEGAK RUMAH KARENA SENDI
RUNTUH SENDI RUMAH BINASA
SENDI BANGSA IALAH BUDI
RUNTUH BUDI RUNTUHLAH BANGSA 





B. Rumusan Masalah
1.      Apa saja visi dan  misi Ajaran Islam ?
2.      Apa tujuan serta sasaran  Ajaran Islam ?


BAB 2 ISI
A.   Visi dan Misi ajaran Islam
Sesuai judul makalah kita mengenai visi, misi, tujuan dan sasaran ajaran Islam ada baiknya kita membahas pengertian agama dahulu. Mukti Ali pernah mengatakan, barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan deifinisi selain dari kata agama.
Harun Nasution mengambil sebuah konklusi bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah yang merujuk pada agama ialah “ikatan”. Jadi agama adalah ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Mohammad Daud Ali mendefinisikan agama sebagai kepercayaan kepada tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan Dia melalui upacara, penyembahan, permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasar ajaran agama itu. Islam adalah kata turunan (jadian) yang berarti ketundukan, ketaatan, kepatuhan (kepada kehendak Allah), berasal dari kata salama yang artinya patuh atau menerima, berakar dari huruf sin, lam, mim, (S-L-M). Kata dasarnya adalah salima yang berarti sejahtera, tidak tercela, tidak bercatat. Jadi secara singkat Islam adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan (diri), ketaatan dan kepatuhan. Islam juga sebagai agama wahyu yang memberi bimbingan kepada manusia mengenai semua aspek kehidupannya.
Hubungan manusia dengan tuhan, bukanlah antara buruh dengan majikan, tetapi hubungan hamba dengan tuhan. Pekerjaan yang dikerjakan hamba, bukanlah pekerjaan Tuhan dan bukan kembali manfaatnya kepada Tuhan, tetapi berpulang manfaatnya kepada hamba itu sendiri. Sebab itu, maka hamba yang ikhlas itu mengikuti perintah Tuhan lantaran insaf bahwa dia hamba Tuhan, Tuhan menitahkan supaya bekerja baik, untuk kemashlatan dirinya sendiri.
Memang Tuhan berjanji akan memberikan pahala pada siapa yang berbuat baik, dan akan mengazab siapa yang berbuat jahat. Surga bagi yang baik dan neraka bagi yang jahat. Bujukan surga dan ancaman neraka hanyalah akan menarik dan mengancam orang yang belum sempurna mengenal akan hubungannya yang sejati dengan Tuhan. Sebab itu maka bagi si mukhlis, berbuat kebaikan karena memang baik dan menjauhi kejahatan sebab memang jahat. Adapun kalau Tuhan hendak memberinya apa-apa ganjaran kebaikan akan diterimanya dengan syukur, karena tidak ada surga yang lebih di sisinya kecuali ingat akan Allah.
Orang yang mukhlis insaf, bahwa pahala hanyalah pengasihan dan adzab adalah keadilan :
Kalau Dia memberi kita pahala, adalah semata-mata karena karunia; Dan kalau Dia menyiksa kita, adalah semata-mata karena keadilan. (Syair)
Tidaklah sempurna ikhlas orang yang mengharap surga di dalam amalnya dan takut akan neraka. Karena itu bukanlah lagi mencari laba bagi budi, tetapi mencari kebendaan untuk diri. Padahal kita bekerja menjunjung tinggi perintah Tuhan bukan lantaran mengharap akan laba. Kita wajib beribadah kepada-Nya, akal kita yang waras yang telah membisikkan bahwa memang wajib kita beribadah kepada-Nya. Sebab tidak terbalas oleh kita jasa ihsan-Nya kepada diri kita. Banyak benar pemberian-Nya tidak terhitung jumlahnya. Dari air yang kotor telah menjadi manusia yang bersih, dari segumpal darah kita diberi tulang setelah itu ditiupkan kepada kita roh.
Alam dihiasi-Nya buat kita dengan matahari dan bulan, bintang dan cakrawala, semuanya itu disediakan buat kita. Tumbuh-tumbuhan, hutan, belukar, lautan, dan daratan, semuanya dipertalikannya dengan kehidupan kita. Setelah diutus-Nya pula nabi-nabi, penganjur-penganjur, contoh-contoh yang akan kita ikuti dalam menegakkan kebenaran di alam ini.
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.An-Nahl [16]: 18)
Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di permukaan bumi, dapat dikatakan proses pewarisan dan pengembangan budaya umat manusia di bawah sinar dan bimbingan ajaran Islam.
Secara terminologi, beberapa ahli pernah mengajukan rumusan konsep pendidikan Islam. Dalam buku Crisis in Muslim Education, Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf menulis :
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa, sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan mereka sangat dipengaruh nilai-nilai spiritual dan sadar akan nilai etis Islam  (Sajjad Hussain,1979 : 1).
Sementara Muchtar Buchori menganggap pendidikan Islam sebagai kegiatan pendidikan dan lembaga-lembaga. Selengkapnya, Muchtar Buchori menulis sebagai berikut :
Pendidikan Islam adalah : Pertama, segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa, dan kedua, keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan yang mendasarkanya program pendidikannya atau pandangan dan nilai-nilai Islam (Bukhori, 1989 : 179).
Dalam studi pendidikan Islam di Indonesia sebutan “Pendidikan Islam” umumnya hanya dipahami sebatas sebagai “ciri khas” dari jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Demikian pula batasan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan di dalam peraturan-peraturan pemerintah yang mengatur secara operasional Implementasi undang-undang tersebut.
Zarkowi Soejoeti (1986), memberikan pengertian lebih rinci. Pertama, pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraanya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Kedua, pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang memberikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu dan diperlakukan sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Ketiga, pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian tersebut. Di sini kata Islam di tempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi.
Selanjutnya pembahasan tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam ini, akan dibagi ke dalam 5 periode, yaitu :
1.      Periode pembinaan pendidikan Islam, yang berlangsung pada zaman nabi Muhammad SAW.
2.      Periode pertumbuhan pendidikan Islam, yang berlangsung sejak Nabi Muhammad SAW wafat sampai masa akhir Bani Umaiyah, yang diwarnai dengan berkembangnya ilmu-ilmu naqliah.
3.      Periode kejayaan (puncak perkembangan) pendidikan Islam, yang berlangsung sejak permulaan daulah Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Bagdad, yang diwarnai oleh berkembangnya ilmu akliah dan timbulnya madrasah, serta memuncaknya perkembangan kebudayaan Islam.
4.      Periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu sejak jatuhnya Bagdad sampai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon, yang ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia Barat.
5.      Periode pembaharuan pendidikan Islam, yang berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon sampai masa kini, yang ditandai gejala-gejala kebangkitan kembali umat dan kebudayaan Islam.
Kata Visi berasal dari bahasa Inggris, vision  yang berarti penglihatan, daya lihat, pandangan, impian atau bayangan. Visi itu ‘What we believe we can be’, yang dimana visi merupakan suatu gambaran tentang masa depan, mau jadi apa nanti perusahaan, organisasi, lembaga maupun negara. Menentukan visi berarti juga menentukan tujuan serta cita-cita yang ingin diraih. Keberadaan visi akan menjadi inspirasi dan mendorong seluruh masyarakat untuk bekerja lebih giat. Oleh karena itu, secara fungsional, visi memiliki beberapa fungsi strategis. Pertama, visi diperlukan untuk memobilisasi komitmen, menciptakan energi for action, memberi road map untuk menuju masa depan, menimbulkan antusiasme, memusatkan perhatian dan menanamkan kepercayaan diri. Kedua, visi diperlukan untuk menciptakan dan mengembangkan shared mindsets atau common vision yang menentukan dan menjadi landasan bagaimana seluruh individu mempersiapkan dan berinteraksi dengan baik.
Visi ajaran Islam itu sendiri terkait dengan kerasulan Nabi Muhammad Saw, yaitu membangun sebuah kehidupan manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah serta membawa rahmat bagi seluruh alam, seperti dalam firman-Nya Q.S Al-Ankabut ayat 16 yang artinya : Dan (Ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Sembahlah oleh mu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Kata tunduk dan patuh memiliki arti yang amat luas dalam segala aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan, dsb yang didasarkan pada nilai-nilai Allah, yaitu nilai keimanan, ketakwaan, kejujuran, keadilan, kemanusiaan, kesastraan, kebersamaan, toleransi dan tolong menolong. Pendidikan Islam yang dilaksanakan harus diarahkan untuk mewujudkan sebuah tata kehidupan yang mencerminkan nilai-nilai tersebut.
Berkaitan dengan visi rahmat menurut Al-Raghib Al-Asfahani adalah riqqatun taqtadi al-ihsan ila al-marhum wa qad tusta’malu taratan fi al-riqqah al-mujarradah wa taratan fi al-ihsan al-mujarradah an ar-riqqah, nahwa rahima Allah fulan, yang artinya suatu sikap yang halus dan lembut yang mengharuskan berbuat baik kepada orang yang dikasihi dan terkadang digunakan pada sikap lembut yang tulus dan terkadang digunakan pula pada sikap berbuat baik yang tidak mengandung unsur kepentingan apapun, sebagaimana Allah telah berbuat sayang kepada kita. Dengan demikian, kata rahmat sebagaimana terdapat pada ayat tersebut terkait dengan sikap yang santun manusiawi kepada sesama mahluk. 
 Sedangkan misi yaitu ‘What we believe we can do’ misi adalah apa saja yang dapat dilakukan untuk mencapai Visi tadi. Intinya visi dan misi adalah visi gambaran dan tujuan sedangkan misi adalah cara untuk mencapai tujuan itu.
Kadangkala misi perlu dirubah sedemikian rupa jika visi belum juga tercapai. Jadi bukan visinya yang dirubah hanya cara atau strategi untuk mencapai tujuan saja yang diubah . Apabila visi berubah-ubah maka akan terkesan tidak konsisten gambaran atau tujuan masa depan.
Pentingnya mengkaji misi Islam secara komprehensif diantaranya : pertama, untuk menimbulkan kecintaan karena didukung oleh argumentasi yang bersifat rasional, kultural, dan aktual, sehingga dalam pelaksanaannya tidak sekedar ikut-ikutan yang mengakibatkan mudah dirusak dan dimurtadkan agamanya, kedua, untuk membuktikan kepada umat manusia bahwa Islam baik secara normatif maupun secara kultural dan rasional adalah ajaran yang dapat membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik, dan ketiga menghilangkan citra negatif dari sebagian masyarakat, yang menurut mereka Islam disebarkan dengan cara peperangan, sebagai sarang teroris, sering melakukan berbagai tindak kejahatan seperti pemboman, sabotase, pembajakan pesawat, dll.
Terdapat sejumlah argumentasi yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam.
Pertama, Kata Islam makna aslinya masuk dalam perdamaian, dan orang muslim ialah orang yang damai dengan Allah dan damai dengan manusia. Damai dengan Allah, artinya berserah diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya, dan damai dengan manusia bukan saja menyingkiri berbuat jahat dan sewenang-wenang kepada sesamanya, melainkan pula ia berbuat baik kepada sesamanya. Dua pengertian ini dinyatakan dalam Al-Quran sebagai berikut:  “(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah, 2:112)
Kedua, misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmat dapat dilihat dari peran yang dimainkan Islam dalam tata hidup masyarakat seperti problematika agama, sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, dsb. Dalam bidang sosial adanya kelas sosial dan kasta yang dibedakan berdasarkan ras, suku, agama, bangsa, keturunan, jenis kelamin, dsb. Seperti ras kulit hitam sebagai budah ras kulit putih, mereka tidak memiliki hak sebagai manusia seutuhnya, melainkan kebebasannya dikekang oleh si majikan, lalu derajat wanita yang dianggap rendah untuk memenuhi kepuasan nafsu belaka, dalam suatu kelompok tertentu kelahiran wanita dianggap aib sehingga dikubur hidup-hidup. Yang berada dalam kelas rendah selama-lamanya akan selalu rendah dengan mengabaikan prestasi yang ada. Selanjutnya dalam bidang ekonomi, ditandai dengan praktik mendapatkan uang dengan menghalalkan segala cara seperti praktik riba, mengurangi timbangan, menipu, monopoli, kapitalisme, dsb. Sehingga membawa persaingan yang tidak sehat, yang kuasa akan semakin kaya sedangkan yang miskin akan tetap pada keadaannya. Kemudian dalam bidang politik dan pemerintahan, pada masa itu ditandai oleh pemerintah yang diktator, otoriter dan tirani, kebebasan rakyat dibatasi, pemerintahan yang cenderung memaksa. Seperti di zaman Persia dan Romawi dua imperium hebat yang berusaha saling menjatuhkan dan terus melakukan ekspedisi perluasan tanah jajahan. Selanjutnya dalam bidang pendidikan, ditandai oleh keadaaan dimana pendidikan dan ilmu pengetahuan hanya dimiliki kaum elite, seperti di Indonesia yang dijajah oleh Belanda lebih dari kurun waktu 350 tahun, dibiarkan tenggelam dalam kebodohan agar Belanda dapat terus mengeruk sumber daya alam dan tenaga kerja di Indonesia. Di bidang kebudayaan ditandai oleh keadaan masyarakat yang semata-mata mengikuti hawa nafsunya seperti mabuk-mabukan, foya-foya, berzina, berjudi, dsb.
Ketiga, misi islam dapat pula dilihat dari misi ajaran yang dibawa dan dipraktikkan oleh nabi Muhammd SAW. Di dalam Al-Qur’an dinyatakan dengan tegas sebagai berikut :
Artinya : “Dan tiada kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Ambiya, 21:107).
Misi kerahmatan Nabi Muhammad SAW. Bukan hanya dapat dilihat dari misi ajaran Islam yang dibawanya sebagaimana telah disebutkan diatas melainkan juga terlihat dalam mpraktik kehidupan nabi Muhammad yang dikenal dengan seorang yang sangat sayang kepada umatnya dan kepada manusi pada umumnya.
Keempat, misi Islam selanjutnya dapat pula dilihat pada kedudukannya sebagai sumber nilai dan pandangan hidup manusia. Dalam hal ini Islam telah memainkan empat peran sebagai berikut : 1. Sebagai factor kreatif yaitu ajaran agama yang dapat mendorong manusia melakukan kerja produktif dan kreatif. 2. Factor motivatif, yaitu bahwa ajaran agama dapat melandasi cita-cita dan amal perbuatan manusia dalam aspek kehidupannya. 3. Factor sublimatif, yakni ajaran agama yang dapat meningkatkan dan mengkhuduskan fenomena kegiatan manusia tidak hanya hal keagamaan saja, tetapi juga bersifat keduniaan. 4.  Factor integrative, yaitu ajaran agama yang dapat dipersatukan sikap dan pandangan manusia serta aktivitasnya baik secara individual maupun kolektif dalam menghadapi berbagai tantangan.
Kelima, misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmat dapat pula dilihat dari peran yang dimainkannya dalam sejarah. bahwa Islam diabad klasik (abad 7-13 M) atau selama lebih kurang 7 abad telah tampil sebagai pengawal sejarah umat manusia menuju kehidupan yang tertib, aman, damai, sejahtera, maju dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban.
Keenam, misi ajaran Islam lebih lanjut dapat pula dilihat dari praktik hubungan Islam dengan penganut agama lain, sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad di Madinah adalah menjalin hubungan yang harmonis dan kokoh dengan seluruh komponen masyarakat yang ada di Madinah melalui apa yang dikenal dalam sejarah sebagai Mitsaq al-Madinah atau Piagam Madinah, didalamnya terdapat prinsip tentang hak manusia dan politik pemerintahan. Teks piagam tersebut menyatakan bahwa atas dasar ajaran Alquran, kemanusiaann dan ikatan sosial, di samping orang-orang Muslim mukmin sebagai satu umat atas dasar agama dan keyakinan , kaum Yahudi dan sekutunya juga merupakan umat bersama orang-orang mukmin. Untuk kebutuhan umat seperti ini, piagam itu menegaskan pentingnya mewujudkan persaudaraan, persatuan dan kerja sama dalam kehidupan sesama antargolongan guna mencapai tujuan bersama sebagaimana diajarkan Alquran.

B.   Tujuan serta Sasaran Ajaran Islam
Al-Ghazali, dengan tegas menyatakan dua tujuan, yaitu, kesempurnaan manusia yang mendekatkan diri (dalam arti kualitatif) kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang bertujuan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat (Hasan Langgulung, 1990: ix).
Rumusan Internasional tujuan pendidikan Islam menurut Konferensi Pendidikan Islam di Islamabad tahun 1980, bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita (idealitas) Islam yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis yang berdasarkan psikologis dan fisiologis maupun yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkeseimbangan sehingga terbentuklah manusia muslim yang paripurna yang berjiwa bertawakkal secara total kepada Allah (Arifin, 1991: 224), sebagaimana firman Allah :
“ Katakanlah sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-An’am 162).
Kalau tujuan Pendidikan Islam tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa pendidikan mutakhir, maka tujuan-tujuan tersebut dapat disebut sebagai tujuan akhir atau “Al-Ahdaaf al-Ulyaa” yang dapat dijabarkan menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik. Dengan kata lain untuk mencapai “ kepribadian muslim” ada beberapa tujuan yang harus dilalui.
Fadlil Al-Jamaly merumuskan tujuan pendidikan Islam yang lebih rinci, sebagai berikut :
1.      Mengenalkan manusia akan peranannya, di antara sesama (mahluk) dan tanggung jawab pribadinya di dalam hidup ini.
2.      Mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat.
3.      Mengenalkan manusia akan alam ini dan mengajar mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil maafaat dari alam tersebut.
4.      Mengenalkan manusiaakan pencipta alam ini (Allah) dan memerintahkan beribadah kepadanya (Al-Jamali, 1986 :3)

Tulisan Syekh Mabud dalam “Curriculum Designing For Natural Science from an Islamic of View” dalam Muslim Education Quarterly, (5,2 : 19-33) cukup representatif dalam memberi landasan konseptual dan operasional, bagaiman merumuskan tujuan pendidikan ilmu-ilmu pengetahuan alam menurut sudut pandang Islam, yang seharusnya diorientasikan pada :
1.      Pemahaman berbagai mahluk fisik dan biologi sebagai manifestasi keesaan, ciptaan, kekuasaan, keadilan, keagungan, dan keindahan Allah melalui karya-Nya (Tuhan sebagai pencipta atas segala sesuatu dan ciptaan itu sebagai refleksi dari sifat-sifatNya)
2.      Pemahaman mengenai martabat dan kedudukan mahluk dalam kerangka penciptaan semesta (kesatuan alam)
3.      Mampu memahami berbagai prinsip dan implikasi ilmu dalam konteks pengetahuan yang digali melalui Al-Quran dan sunnah (rangkaian antara pengetahuan saintifik dan pengetahuan transendental atau wahyu).
4.      Mampu memahami bahwa penelitian aplikasi ilmu-ilmu harus terpadu dengan nilai-nilai etik dan moral agama (aplikasi ilmu).
Sasaran ajaran Islam sudah jelas diperuntukkan selurah umat manusia, karena Nabi Muhammad diutus bukan untuk kaum arab saja melainkan seluruh umat di muka bumi, sebagai rahmat seluruh alam. Menurut Al-Ghazali bahwa ilmu yang hukum mempelajarinya “fardu’ain” (dibebankan pada setiap muslim) ialah ilmu agama dengan segala cabangnya, yang dimulai dengan Al-Quran kemudian ilmu ibadah dasar seperti hal-ikhwal puasa, zakat, dsb. Sektor pendidikan agaknya “ditakdirkan” menjadi fokus utama semua pemerintahan, dalam dasawarsa akhir abad ke-20 ini. Indonesia misalnya, memandang pendidikan sebagai hak individu dan keharusan bagi negara untuk mnyelenggarakannya. UUD 1945 bab XIII pasa; 31 ayat (1-2) menyatakan :
1)      Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
2)      Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-Undang (Widjaya, 1985: 297)




C.   Kesimpulan
Berdasarkan makalah ini dapat disimpulkan bahwa visi, misi, tujuan dan sasaran  ajaran Islam  ialah membangun sebuah kehidupan manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah serta Nabi Muhammad utusan Allah untuk seluruh umat manusia sebagai pemembawa rahmat bagi seluruh alam, kita dengan cara menjalani perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Demi terwujudnya keselarasan tata di muka bumi.

















SUMBER
Ghazali, Bahri, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001), cet. II
Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Republika Penerbit, 2016)
Muchtarom, Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. X
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet.XIX
Soebahar, Abd. Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002)