Jumat, 02 Juni 2017

Daya-daya Ruhani

Daya-daya Ruhaniyah
Abu al-Husayn an-Nuri mengatakan, “Tasawuf bukan sekumpulan ritual dan pengetahuan, tetapi akhlak.” Maksudnya jika tasawuf terdiri dari ritual-ritual, maka berarti bisa didapatkan melalui usaha; begitu pula jika terdiri dari pengetahuan, maka bisa ditemukan melalui pengajaran; karena itu tasawuf adalah akhlak, dan tasawuf tidak bisa diperoleh hingga kita menuntut diri mengamalkan prinsip-prinsip akhlak, dan menjadikan amalan tersebut sejalan dengannya, dan  memenuhi segala yang dituntunkannya.
Murta’isy berkata: “ Tasawuf adalah akhlak yang baik.”. Akhlak yang baik memiliki tiga bentuk: Pertama, akhlak kepada Allah , dengan melaksanakan segala perintah-Nya. Kedua, akhlak kepada manusia, dengan memberikan rasa hormat kepada yang lebih tinggi dan berlaku baik kepada yang lebih rendah dan berlaku adil kepada orang yang sederajat, dan tidak memungut imbalan dan menuntut keadilan dari kaum jelata. Ketiga, akhlak kepada diri sendiri, dengan tidak menuruti keinginan-keinginan badaniah dan iblis.
Zu an-Nun al-Misri berkata: “Sufi adalah orang yang ketika berbicara bahasanya adalah realitas ihwalnya, yakni dia tidak mengatakan apa yang tidak sebenarnya, dan ketika dia diam perbuatannyan menjelaskan ihwalnya, dan ihwalnya mengatakan bahwa dia telah memutuskan semua ikatan-ikatan duniawi.” Maksudnya semua yang dia katakan berdasarkan prinsip yang masuk akal dan semua yang dia lakukan terbebas dari dunia (tajrid).[1]
Manusia adalah makhluk dwi dimensi. Ia tercipta dari tanah dan ruh Ilahi. Dalam komposisi kejadiannya, manusia dapat diibaratkan  dengan air yang terdiri dari kadar-kadar tertentu dari hidrogen dan oksigen (Quraish Shihab, 2008:149)
Nyawa atau daya hidup pada diri manusia telah ada sejak adanya sel sperma dan ovum. Sperma dan ovum itu hidup dan kehidupannya mampu menjalin hubungan sehingga terjadilah benih manusia (embrio). Dengan begitu, maka al-hayat berbeda dengan al-ruh, sebab al-hayat ada sejak adanya sel-sel kelamin, sedangkan al-ruh ada setelah embrio berusia empat bulan dalam kandungan (lihat HR. Bukhari dan Ahmad bin Hambal). Oleh karen itu, kematian al-hayat tidak otomatis kematian al-ruh, sebab al-ruh selalu hidup sebelum dan sesudah adanya nyawa manusia. Ruh bersifat substansi (jauhar), sedang nyawa merupakan sesuatu yang baru datang (aradh)[2]
Secara psikis, makna ruh, jiwa dan akal sama dengan makna qalbu. Ketiganya merupakan substansi manusia yang dapat mengidrak. Namun pada praktiknya, masing-masing memiliki tendensi. Qalbu bertendensi inkonsisten dan bolak-balik dua alam. Ruh bertendensi baik dan bersifat ilahiyyah. Jiwa bergantung pada kekuatan yang mendominasinya. Akal berfungsi sebagai pemberi inspirasi. Sedangkan naffs yang berarti nafsi merupakan kolaborasi kekuatan ghadab (marah) dan syahwat (keinginan biologis dan hasrat seksual) yang cenderung pada kejelekan.
Al-Nafs
Istilah nafs yang dimaksud disini adalah istilah bahasa Arab yang dipakai dalam Al-Qur’an. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jama’nya nufus dan anfus) berarti ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri).[3] Sedangkan dalam kamus al-Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al- sahsh (orang), al-sahsh alinsan (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri). Sedangkan menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an disebutkan bahwa dalam al-Qur’an nafs yang jama’nya anfus dan nufus diartika jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind) di samping juga dipakai untuk beberapa arti lainnya.
Para ahli tasawuf membagi perkembangan jiwa menjadi tiga tingkatan :
·         Tingkat pertama manusia cenderung untuk hanya memenuhi naluri rendahnya yang disebut dengan jiwa hayawaniyah/kebinatangan (nafs ammarah) berdasar pada surat Yusuf (12) ayat 53. “ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
·         Tingkat kedua, manusia sudah mulai untuk menyadari kesalahan dan dosanya, ketika telah berkenalan dengan petunjuk Ilahi, di sini telah terjadi apa yang disebutnya kebangkitan rohani dalam diri manusia. Pada waktu itu manusia telah memasuki jiwa kemanusiaan, disebut dengan jiwa kemanusiaan (nafs lawwamah) berdasar pada surat al-Qiyamah (75) ayat 2. “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”
·         Tingkatan ketiga adalah jiwa ketuhanan yang telah masuk dalam kepribadian manusia, disebut jiwa ketuhanan (nafs muthmainnah) berdasar pada surat al-Fajr (89) ayat 27-30. Tingkatan jiwa ini hampir sama dengan konsep psikoanalisanya Freud yaitu Id, Ego, dan Superego.”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku. Masuklah ke dalam surgaku.”
Kecenderungan nafs adalah memaksakan hasrat-hasratnya dalam upaya untuk memuaskan diri. Sedangkan akal berperan sebagai kekuatan pembatas sekaligus penasihat bagi nafs, memberikan pertimbangan kepada nafs tentang tindakan-tindakan positif yang seharusnya dilakukan
Quraish Shihab cenderung memahami nafs sebagai sesuatu yang merupakan hasil perpaduan jasmani dan ruhani manusia. Perpaduan yang kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan pengetahuan serta dikenal dan dibedakan dengan manusia-manusia lainnya.
Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)

Sebagaimana Ibn Sina, al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu:
1.      Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
2.      Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).
3.      Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.11
Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.12
Al-Aql
Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah ruh dan al-nafs, ditemukan juga istilah al-qalb dan al-'aql. Empat istilah ini tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat ibarat kacang dengan kulit arinya.
Secara leksikal (bahasa), kata al-aql di dalam kamus kontemporer Arab-Indonesia merupakan sinonim bagi kata hija yang berarti pikiran, otak dan alasan. Sedangkan di dalam kamus Al-Munawwir  Arab-Indonesia juga berarti daya yang dapat menangkap, mempersepsi, memahami.
Menurut Imam Al-Ghazali, kata al-aql memiliki empat hakikat, yaitu :
·         Pertama, sesuatu yang siap menerima pengetahuan teoretis dan mengatur kepandaian berpikir yang tersembunyi.
·         Kedua, pengetahuan yang ada pada diri manusia sejak usia anak.
·         Ketiga, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman/empirik.
·         Keempat, kekuatan gharizah (insting) untuk mengetahui konsekuensi berbagai masalah dan menahan keinginan untuk mendapatkan kelezatan sesaat.
Al-aql juga bisa dipahami dalam dua makna yaitu pertama, otak yang berada di dalam kepala bagian belakang dan yang kedua adalah potensi lathifah robbaniyyah yang mempunyai potensi akademik, mengetahui hakekat segala sesuatu.
Sedangkan manfaat/fungsi al-aql adalah potensi penyerapan pengetahuan, membedakan baik dan buruk, dan jalan memperoleh sejati
Al-Qalb
“Hati adalah rumah Allah, maka bersihkanlah ia dari yang selain Dia agar saban malam sang Rahman dapat bersemayam di istana-Nya.”
-Ibrahim Haqqi
Menurut Yaniyullah (2005:iv) bagi manusia, baik arti secara fisik maupun psikis, qalbu merupakan lokus yang sangat penting. Ia berfungsi sebagai “processor”. Seluruh anggota badan lahir dan batin berfungsi sebagai perangkat. Seluruhnya tunduk pada kehendaknya. Baik dan buruk perilaku manusia tergantung pada getaran-getaran (khawatir)-nya. Qalbu merupakan pusat penilaian Allah dan kekuatan rohaniah yang mampu melakukan pengidraan. Dalam tubuh manusia, kekuatan yang bersifat ruhaniah memang bukan hanya qalbu, tetapi juga ruh, akal, dan naffs (yang bisa berarti jiwa atau nafsu).
Sebagai “processor” dalam tubuh manusia, qalbu memiliki daya yang sangat dahsyat, melebihi daya anggota badan lainnya. Seluruh fungsi anggota lahir, pada hakikat merupakan daya qalbu. Lebih dari itu, qalbu memiliki pasukan batin, yaitu fu’ad, lubb, shadr, bal, dzhin dan saghaf. Fu’ad adalah daya teringgi yang dapat melihat cahaya-cahaya gaib yang dapat melahirkan makrifat. Ia merupakan nikmat spesial bagi manusia. Dengannya manusia bisa mengidrak sesuatu yang abstrak, yang konkret, yang terlewat, dan yang tertutup mengenai informasi sesuatu, dampak-dampaknya, dan sifat-sifatnya. Lubb ialah daya yang dapat berpikir murni dan sangat cerdas yang dapat melahirkan tauhid. Shadr ialah daya penerbit cahaya kepasrahan. Bal ialah daya penyangga. Dzihn ialah daya pengingat. Syaghaf ialah daya yang dapat mencintai. Qalbu juga memiliki kekuatan berimajinasi, mengetahui, menghafal, berfikir, dan berperasa berpatisan.
Hati adalah sebuah entitas nurani yang menakjubkan dan memiliki dua sisi berbeda; yang pertama selalu memandang ke arah Alam arwah, sementara yang kedua selalu memandang alam fisik. Jika tubuh tunduk pada perintah ruh yang tercakup dalam perintah-perintah syariat tauhid, maka hati mengalirkan limpahan anugerah yang ia dapat dari alam arwah kepada tubuh dan jasad, sehingga memberikan embusan angin ketenangan dan ketentraman.[4] Hati juga mampu melakukan peng-idrak-an. Idrak adalah memahami dan mempersepsikan. Misalnya perasaan sedih dan gembira. Yang berfikir dan merenungkan itu adalah kekuatan batin yang disebut al-qalb.
Hati adalah objek pandangan Allah SWT, sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama masa lalu. Maksudnya adalah bahwa Allah SWT selalu memandang hati manusia dan Dia melakukan interaksi dengan seseorang sesuai dengan kondisi hati orang tersebut. Demikianlah yang dinyatakan dalam hadist, “... akan tetapi Dia melihat ke hati kalian.”
Hati merupakan sebuah lathifah (entitas lembut) yang sangat sulit disembuhkan jika terluka, meski yang jauh lebih sulit adalah menghidupkannya jika ia sudah mati. Itulah sebabnya Al-Qur’an berpesan kepada kita dengan sebuah doa ‘wahai tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami condong pada kesesatan sesudah engkau beri petunjuk kepada kami,’ (QS Ali Imran 3: 8). Hati melakukan tugas sebagai jembatan penting untuk mengantarkan semua kebaikan dan berkah kepada manusia, sebagaimana ia juga dapat menjadi penghubung berbahaya yang membuka jalan bagi masuknya berbagai bentuk godaan syaitan dan bisikan nafsu. Setiap kali hati dapat diarahkan menuju al-Haqq Allah SWT, maka ia menjadi lentera terang yang menerangi seluruh bagian tubuh sampai ke pelosok sudut-sudutnya. Tetapi ketika hati diarahkan menuju materialisme, maka ia akan menjadi sasaran empuk bagi anak panah syaitan yang beracun.
Al-Ruh
Kata ruh diartikan dengan roh, nyawa, jiwa, sukma, intisari, perasaan atau esensi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata ruh diartikan dengan: Sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani, namun berakal budi dan berperasaan; jiwa atau badan halus atau semangat.
Menurut Al-Ghazali, kata ruh memiliki dua makna, yaitu :
·         Pertama, jenis yang halus (al-lathifah) memancar dari rongga yang ada pada al-qab al-jasmani (jantung), menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui urat nadi yang memancarkan cahaya hidup, rasa, penghlihatan,  pendengaran,  dan penciuman pada berbagai bagian tubuh menyerupai cahaya lampu yang dapat menerangi sekeliling rumah. Kehidupan bisa diibiratkan dengan cahaya yang menerangi dinding rumah, sedangkan ruh adalah lampunya.
·         Kedua, nur lathifah (cahaya halus) pada diri manusia yang dengannya ia dapat mengetahui dan mengidrak sebagaimana fungsi kalbu dan ruh inilah merupakan hakikat hati.
Hati manusia merupakan wilayah yang terletak antara kesatuan dan keanekaragaman. Jika wilayah itu dikuasai oleh nafs dan bala tentara hawa nafs-nya, yang membentuk pasukan keanekaragaman, maka hati akan mengalami kehancuran dan tertawan. Jika tentara kasih sayang, yang merupakan kekuatan ruh kesatuan, mengusir pasukan nafs  dari hati, maka hati berada dalam pengaruh ruh, yang akan menjadi atasannya. Pada maqam ini, jiwa sufi bergabung dengan alam kesatuan dan terpisah dari dunia keanekaragamn.
Ruh inilah yang merupakan hal mengagumkan yang bersifat rabbani yang tidak mampu diketahui hakikatnya oleh kebanyakan akal manusia. Ini berdasarkan firman Allah QS. Al-Isra : 8) yaitu : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Al-Sirr
As Sirr dimaknai sebagai sebagai rahasia (lawan keterusterangan), pembicaraan dalam hati. Hans Wehr mengungkapkan kemungkinan makna sirr adalah: secret, mind, heart, dan soul. Rahasia adalah sebuah hakekat yang tersembunyi, ia tersembunyi dari cercapan panca indera, namun ada dalam eksistensi. Sirr dengan demikian adalah sesuatu yang tersembunyi dalam diri manusia, seperti pikiran, perasaan dan jiwa. Sirr merupakan aspek jiwa yang paling dalam, ia adalah pikiran, perasaan bawah sadar yang dimiliki manusia.
Sirr juga merupakan isyarat halus yang ada dalam diri manusia seperti ruh dan nafs. Pada prinsipnya, ia merupakan tempat “musyahadah” seperti halnya ruh tampat “mahabbah”  dan qalb tempat “ma’rifah”.
Ia merupakan substansi halus dan lembut dari rahmat Allah, relung kesadaran paling dalam, tempat komunikasi rahasia Tuhan dan hambaNya. Inilah tempat paling tersembunyi, dimana Allah memanifestasikan rahasiaNya kepada diriNya sendiri.
Sirr adalah ketersembunyian antara yang tiada dan ada. Ia adalah apa yang diketahui Tuhan tetapi tidak diketahui mahkluk. Sirr mahkluk adalah apa yang diketahui Tuhan tanpa perantara. Sirr lebih halus dari ruh, dan ruh lebih halus dari qalb.
Menurut para imam sufi as sirr hanya dimiliki oleh para wali dan orang-orang yang telah mencapai ma’rifah Allah. Dalam qalb mereka telah terdapat rahasia-rahasia ketuhanan dan hakekat rabbani yang harus dirahasiakan dari orang-orang awam, agar mereka tidak salah paham.



[1] Ali Ibn Usman Al-Jullabi Al-Hujwiri, Keajaiban Sufi, (Jakarta: DIADIT MEDIA, 2008), hal. 31, cet-I
[2] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter perspektif Islam, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011), hal. 76, cet-I
[3] Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Musyriq 1986), 826.
[4] Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf untuk kita semua, (Jakarta: Republika, 2014), hal. 65, cet-I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar